Tentang Memaafkan dan Melepaskan

yundaily
8 min readOct 5, 2022

--

Aku tak akan pernah tahu sulitnya memaafkan dan melepaskan seseorang jika tidak mengalaminya sendiri. Dan apa yang terjadi selama beberapa bulan ini, memberiku pelajaran bahwa maaf itu tak hanya harus kita berikan kepada orang yang menyakiti kita, tapi juga diri kita sendiri.

Rasanya seperti oasis di padang gurun ketika ada beberapa laki-laki yang mengajakku berkenalan di media sosial. Rasanya seperti angin segar di siang yang terik ketika salah satu di antaranya akhirnya membuatku terpikat setelah kami bertemu langsung, dan dia pun seolah menunjukkan perasaan yang sama.

Saat itu, apa yang terjadi was like too good to be true. Dia tinggi. Menurutku dia juga lumayan tampan. Seiman. Satu denominasi gereja. Hanya satu hal yang sebenarnya tidak masuk kriteriaku: dia dua tahun lebih muda dariku. Meski awalnya ragu, perlakuannya yang baik dan sopan — bahkan kepada ibuku, membuatku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang seolah disediakan semesta untukku. Aku berpikir, “Dicoba aja dulu, itung-itung nambah temen. Lagian umur kan hanya sekadar angka”. Dan seiring berjalannya waktu, perasaan sukaku tumbuh dengan sendirinya. Hingga tanpa sadar aku membangun pondasi kekecewaan yang sudah pasti hadir saat aku melibatkan hal ini dalam sebuah hubungan, yaitu harapan bahwa aku akan memiliki akhir indah dengannya. Aku menanamkan harapan bahwa dia orang yang tepat, hanya karena aku dan dia seiman, bahkan satu denominasi gereja.

Aku mulai merasa ada yang tidak beres sejak dia mengajakku malam mingguan. Seingatku itu pertemuan kelima kami. Sejak hari itu, aku merasa dia tak lagi antusias denganku. Tak lagi ada ajakan untuk bertemu. Meski kami masih intens chattingan, tapi hatiku mulai tak nyaman. Hingga suatu hari, semesta seolah mengingatkanku bahwa sudah saatnya untuk sadar diri. Sayangnya aku terlalu keras kepala dengan terus-terusan berpikir positif.

Hari itu adalah hari libur nasional. Aku tetap masuk kerja tapi pulang lebih cepat dari jam kerja biasanya, sedangkan dia mengaku padaku kalau dia juga masuk kerja. Di perkenalan pertama kami, dia memang sempat memberiku jadwal kerjanya. Mengingat dia kerja di pusat perbelanjaan, memang masuk akal kalau dia tetap masuk meski di hari libur nasional. Sepulang kerja, aku pergi hangout dengan sahabatku. Saat itu, aku sudah mendapat firasat tidak enak tentang hubunganku dengannya. Aku tak lagi merasa terconnect dengannya. Di tengah obrolanku dengan sahabatku, aku mengecek Whatsapp dan saat itulah aku melihat postingannya yang sedang nongkrong di kafe di luar kota. Aku yakin itu bukan video lama — dia pernah mengaku bahwa dia kadang suka mengunggah ulang postingannya yang terdahulu. Dan ketika aku mencoba untuk memastikan keberadaannya, dia membalasku hanya dengan satu kata. Sekujur tubuhku bagai tersiram air es membaca balasannya yang tak seramah dan sehangat biasanya. Saat itulah aku langsung tahu, seharusnya aku tahu diri untuk segera berhenti mengharapkannya. Hatinya sudah tidak lagi untukku.

Sayangnya, cinta terkadang hadir tanpa disertai logika. Sekeras apapun logika menyuruhku untuk berhenti, hatiku masih bergantung pada harapan untuk mempertahankan hubungan yang tidak jelas itu. Aku memang tolol.

Singkat cerita, dia meninggalkanku begitu saja. Tak peduli berapa kali aku mencoba menghubunginya lewat telepon tapi tak pernah diangkat, mengirimkan chat panjang lebar tapi hanya berakhir dengan centang dua warna biru; seharusnya aku sadar. Aku meratapi kebodohanku dengan menangis sejadi-jadinya. Pada akhirnya, aku tahu bahwa aku hanya dia jadikan pilihan dari entah berapa wanita yang dia dekati. Meski dia memblokir media sosialku, aku cukup pintar untuk mencari kebenaran dengan caraku sendiri — ada gunanya juga punya second account rahasia wkwkwk. Dan ya, firasatku 100% benar. Selang beberapa minggu setelah dia ghosting aku, aku mengetahui bahwa dia sudah memiliki pacar. Namun, saat itu aku memang sedang berbenah hati. Saat tahu dia sudah punya pacar pun, perasaan kesalku sudah hampir hilang; walau terkadang aku menyayangkan sikapnya yang pergi begitu saja tanpa pamit.

Aku sedang dalam usaha untuk melupakannya ketika seseorang yang baru hadir. Sungguh timing yang tepat. Kalau tidak salah ingat, selang sebulan setelah aku dighosting, orang baru ini hadir. Sebut saja dia Mekkel. Dan lagi-lagi, dia adalah orang yang aku kenal lewat media sosial.

Karena baru saja mengalami patah hati, tentu aku menjadi lebih hati-hati saat Mekkel terang-terangan mengajakku berkenalan. Bahkan meski dengan tujuan ke arah yang serius. Dia seumuran denganku. Orang Batak — -salah satu kriteria idamanku, to be honest. Dan dia Katholik. Aku rasa poin terakhir tidak terlalu menjadi masalah, karena toh kami sama-sama beribadah di gereja.

Aku rasa, tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan melenceng dari poin yang ingin aku bahas (tentang memaafkan dan melepaskan) jika aku menceritakan tentang Mekkel — karena dia sempat menjadi seseorang yang spesial bagiku, jadi akan aku akan ringkas.

Long story short, aku dan Mekkel sepakat untuk menjalin hubungan. Ya, kami berpacaran setelah kurang lebih tiga minggu kami mengenal satu sama lain. Cukup cepat, bukan? Walau pada akhirnya, aku menyayangkan keputusanku yang terlalu cepat mempercayainya, andai aku tahu kisahku akan berakhir… tidak menyenangkan.

Di hari kami sepakat untuk berpacaran, Mekkel membeberkan beberapa hal tentang dirinya, termasuk sisi gelapnya yang cukup membuatku tidak percaya. Sayangnya, sebagai seseorang yang berzodiak Cancer, aku cenderung mengabaikan red flag seseorang ketika sudah menyukainya. Hari itu pun, mempertimbangkan kejujurannya yang aku tahu tidak mudah untuk melakukan itu, aku memutuskan untuk menerimanya masuk ke dalam hidupku.

Selama aku dan Mekkel berpacaran, ada saat di mana aku benar-benar merasa disayang olehnya, namun ada saat di mana aku kecewa. Lagi-lagi, ekspektasiku mungkin terlalu tinggi — perks of being an INFP, I guess?. Namun, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Aku terus-menerus mengingatkan diri bahwa Mekkel ini pacarku, dan aku merasa punya hak untuk menuntut sesuatu yang aku pikir seharusnya menjadi pondasi utama suatu hubungan: komunikasi yang sehat. Aneh bukan? Mengapa hal mendasar seperti itu, justru harus aku tuntut? Bukankah jika kami saling mencintai, otomatis komunikasi seharusnya berlangsung lancar dan sehat?

Sayangnya Mekkel bukan orang yang seperti itu. Aku merasa gagal — sebagai kekasih — ketika dia memilih untuk memendam masalahnya sendiri tanpa mau mengomunikasikannya denganku. Wajarkah jika aku kecewa? Karena saat aku marah, dan dia minta maaf dengan janjinya untuk tidak akan mengulangi lagi, nyatanya janjinya palsu.

Hingga akhirnya, hal yang tak pernah aku bayangkan terjadi, menghancurkan setiap keping kepercayaan yang telah aku bangun pelan-pelan hanya untuk Mekkel. Setelah beberapa hari menghindariku, bersikap dingin kepadaku, Mekkel memutuskanku sepihak dengan alasan yang nyaris membuat kepalaku meledak oleh amarah. Dia berniat untuk pindah agama (menjadi Islam).

Yang membuatku marah sekaligus kecewa adalah bukan tentang panggilannya untuk beralih agama. Bukan juga tentang keputusannya untuk mengakhiri hubungan kami. Tapi tentang bagaimana dia yang ternyata sudah punya rencana untuk pindah agama, bahkan jauh sebelum bertemu denganku. Tentang dia yang tak pernah berani untuk jujur padaku mengenai masalah ini, padahal dia saja mau terbuka tentang sisi gelapnya. Dan ketika dia mengaku niatnya semakin kuat, dia memilih untuk meninggalkanku, tanpa mendiskusikannya dulu denganku, bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal. Hanya permintaan maaf yang dia berikan, yang sampai sekarang masih belum bisa aku terima.

Hatiku patah untuk kedua kali. Dalam waktu yang nyaris berdekatan. Tapi, kali ini sakitnya terasa lebih menyiksa dibandingkan dengan semua pengalaman patah hati yang pernah aku lalui di masa lalu.

Hingga saat ini pun, saat aku menulis tulisan ini, aku masih ingin menangis mengingat Mekkel dan alasannya meninggalkanku. Percakapan terakhirku dengannya di telepon yang masih terngiang sampai sekarang, aku lupa kalimat persisnya bagaimana, tapi kurang lebih seperti ini:

“Aku ki yo abot ngene ki. Satu sisi aku pengin neruske jalan karo kowe, tapi aku kepentok panggilanku dinggo pindah (agama).”

“Saiki aku takon, anggep wae awak dewe ki ora nduwe agama. Piye perasaanmu dinggo aku saiki?”

“Yo aku tresno karo kowe…”

Aku masih belum bisa percaya semua ini terjadi.

Untuk itulah aku menulis ini. Salah satu caraku untuk sembuh dari patah hati adalah dengan menulis, walau sebenarnya ini sangat personal. Dan sebenarnya aku sedikit malu menuliskan kisah cintaku yang tidak indah ini. Tapi mungkin melalui tulisan ini aku akan menemukan jawaban yang aku cari. Dan menjadi pengingat untukku di masa depan.

Sekarang, tentang memaafkan dan melepaskan.

Aku akui tidaklah mudah untuk bangkit apalagi pulih, setelah ditinggalkan dua kali berturut-turut. Oleh seseorang yang meninggalkanku untuk cewek lain, dan oleh Mekkel yang meninggalkanku demi jalannya sendiri. Tapi, setelah hari-hariku menangisi kepergian mereka berlalu, aku mulai menyadari bahwa mungkin ada alasan mengapa kisah cintaku kali ini tidak berakhir indah. Ketika logikaku kembali bekerja, aku pun sadar bahwa sudah saatnya aku memaafkan mereka. Tapi yang lebih penting adalah aku harus memaafkan diriku sendiri juga.

Ada satu kalimat yang sangat menghiburku, yang diberikan oleh sahabat-sahabatku ketika aku menceritakan masalah ini kepada mereka: it’s not your fault — ini bukan salahmu. Memang mudah untuk jatuh pada keterpurukan lalu menyalahkan diri sendiri ketika sebuah hubungan berakhir. Aku beruntung memiliki sahabat yang sangat paham bagaimana caranya membuatku tetap kuat. Mereka memvalidasi perasaan sedihku, memahami betapa kacaunya diriku saat itu.

Dengan menanamkan mindset bahwa ini bukan salahku, aku perlahan mencoba untuk memaafkan mereka yang telah menyakitiku. Ini hanyalah bagian dari kehidupan. Wajar jika sebuah hubungan berakhir. People indeed come and go. People indeed will hurt and disappoint us, because they’re human afterall. They don’t owe us anything. And it’s our own responsibility to forgive but not forget, also to let go.

Semalam aku menemukan video yang sangat membantuku untuk memaafkan dan melepaskan mereka yang telah menyakitiku (akan aku selipin linknya di bawah).

Aku benar-benar setuju dengan kelima cara itu, karena aku pun telah mempratekkan beberapa di antaranya sebelum aku menonton videonya.

Meski kedua orang yang aku ceritakan di tulisan ini meninggalkan luka dengan caranya masing-masing, aku tak akan melupakan kebaikan yang mereka berikan kepadaku. Bagaimanapun, mereka sedikit banyak menunjukkan padaku bahwa aku layak dicintai dengan apa adanya. Bahwa masih ada aspek dalam diriku yang bisa membuat seseorang menyukaiku. Tapi pelajaran paling bermakna dari kedua kisah cinta itu adalah tentang pentingnya memiliki harga diri atau self worth. (Aku rasanya ingin tertawa ketika menulis bagian ini).

Sejak 2018, aku telah belajar untuk lebih mencintai dan menyayangi diri sendiri. Dan sepertinya, tahun ini adalah ujiannya. Ketika seseorang membuatku kecewa, ketika aku tak bisa terhindar dari sakitnya patah hati; saat itulah aku kembali diingatkan untuk lebih menyayangi diri sendiri. Ujian ini paling terasa ketika hubunganku dengan Mekkel berakhir. Saat itu, aku masih denial atas keputusannya, bahkan memohonnya untuk tetap bertahan di agamanya demi aku — sungguh egois memang. Ketika usahaku tidak membuahkan hasil, ada suara dalam hatiku yang berkata, “Stop! Don’t go overboard. It’s enough to try. It’s time to go now. You’ll hurt yourself by asking him to stay when he already made it clear that he wanted to leave you.” (Bentar aku mau nangis dulu..)

I love him. I love Mekkel. But I love me more. That’s how I forgive, and let him go.

--

--