that’s when I know I love you

yundaily
3 min readJan 15, 2024

--

Mataku masih terasa sembab dan perih oleh banyaknya air mata yang aku keluarkan semalam. Hatiku terasa kosong saat menyadari hari telah berganti pagi, namun kita masih berselimutkan permasalahan pelik. Kesalahpahaman sepele yang justru membuat hatiku tercabik.

Meski kamu telah mengucapkan kata maaf, tapi aku juga tidak bisa munafik bahwa aku marah, kecewa, sakit hati; aku terluka. Meski aku pun tahu kamu meninggalkanku bukan tanpa sebab. Aku ingin menyalahkan jalanan yang begitu ramai hingga membuat laju motorku terpaksa melambat, sementara kamu jauh melaju di depan, tak kuasa menahan sakit karena flu sialan itu.

Aku lampiaskan amarahku saat aku berhasil menyusulmu, mendapatimu telah sampai rumah dengan alasanmu yang semakin membuatku sakit hati. Hatiku semakin hancur ketika kamu bahkan tidak menahanku saat aku memilih pulang, dengan langit senja yang menatapku pilu.

Semalaman aku menangis. Mempertanyakan reaksi dan emosiku yang tidak keruan. Mencari validasi lewat teman dekatku bahwa aku berhak terluka seperti ini. Aku hanyalah perempuan biasa, yang tidak suka ditinggal sendirian.

Kamu meminta maaf dengan suara yang lemah. Sisi hatiku yang menyayangimu ingin segera kembali berada di sampingmu, memberimu teh hangat dan obat penurun demam, tapi aku urungkan niat itu. Emosiku sudah terlanjur kacau dan air mataku juga tak kunjung mau berhenti.

Maka saat aku terbangun pagi ini, aku membulatkan tekad untuk membawakanmu sarapan. Aku tidak tega membiarkanmu mencari sarapan sendiri dengan tubuh yang masih lemas. Aku membeli nasi liwet langgananku, aku ingat kamu setuju bahwa rasanya enak, dan aku ingin kamu merasa kenyang olehnya daripada bubur yang hanya memberi rasa hangat sesaat.

Beragam skenario telah aku susun, tentang bagaimana aku akan menyimpan nasi liwet itu di rumahmu nanti. Aku yakin kamu masih tidur, maka aku mencari solusi terbaik agar bisa mengantar nasi liwet tanpa membangunkanmu.

Tapi aku terkejut saat sampai di rumahmu, ternyata kamu sudah bangun. Aku mendengar suaramu yang sedang berdeham. Aku beranikan diri untuk mengetuk pintu lalu membukanya, kamu sama terkejutnya denganku. Segera aku serahkan sebungkus nasi liwet dan berpamitan pulang, tapi kamu menahanku.

Kamu menggenggam tanganku dengan tanganmu yang hangat, bertanya mengapa aku masih marah. Aku menjaga jarakku tapi di saat yang sama aku lega kamu sudah jauh lebih dari kemarin. Kamu berulang kali meyakinkanku bahwa kejadian kemarin tak akan terulang. Saat kamu meletakkan kepalamu di pangkuanku, kamu memintaku untuk melampiaskan amarahku, aku langsung melakukannya walau tanpa tenaga penuh, kamu kembali dalam posisi duduk sambil mengusap matamu.

Saat itulah aku menyadari bahwa kamu habis menangis.

Sisa hari itu akhirnya kembali seperti biasa. Kita tak lagi berkonflik, walau aku bertekad tak akan melupakan kejadian kemarin.

Malam hari ketika kamu datang ke rumahku, aku kembali teringat akan air mata yang kamu usap pagi tadi. Mengapa kamu menangis? Tanyaku.

“Aku kangen, karena kemarin kita belum selesai ngobrol tapi kamu langsung pulang. Aku merasa bersalah karena udah ninggalin kamu.”

Saat itulah aku mengerti bahwa cinta tak melulu soal bunga, coklat, atau kata-kata romantis. Aku tersadar bahwa ketika aku marah dan benci padamu, cinta selalu menang melawan keinginanku untuk mengakhiri semuanya.

Aku tersadar bahwa aku mencintaimu saat aku tetap pergi membelikanmu sarapan walau hatiku masih dongkol. Dan aku merasa lega karena perasaan cintamu juga sama. Tak kurang, tak lebih.

--

--